KOPPINEWS.ID, Kupang – Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang kembali angkat bicara tentang prahara kawasan hutan Pubabu atau Besipae yang adalah empunya ulayat setempat namun dirampas oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) yang kini kembali memanas.
Kronologi konflik ini sesungguhnya sejak tahun 1982, sejak Pemprov NTT bangun kerja sama dengan Pemerintah Australia dalam program percontohan Intensifikasi Peternakan, program ini sekiranya berlangsung selama tahun 1982-1987, program ini kemudian berakhir karena tidak berjalan efektif.
Kemudian Pemprov NTT melalui Dinas Kehutanan melaksanakan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (GERHAN), program ini berjalan selama tahun 1988 – 2008 di atas lahan seluas kurang lebih 6 ribu Ha dengan skema Hak Guna Usaha (HGU), diketahui bahwa program ini tanpa persetujuan masyarakat adat setempat yang adalah empunya ulayat.
Pada tahun 1995, Dinas Kehutanan Provinsi NTT mengeluarkan register tanah kehutanan dengan nomor 29 yang ditandatangani oleh Gubernur NTT dan termuat dalam berita tata batas negara yang memasukkan kawasan hutan Besipae ke dalam kawasan hutan negara dengan fungsi sebagai hutan lindung, luasnya sekira kurang lebih 2.900 Ha.
Selama tahun 2003 – 2008, Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) melakukan pembabatan dan pembakaran hutan dalam kawasan Besipae itu, yang sekiranya itu terjadi dalam kawasan seluas 1.050 Ha. Karena hal itu, kawasan hutan menjadi gundul dan masyarakat setempat menjadi kehilangan mata air bersih yang sebelumnya melimpah rua.
Itulah mengapa pada tahun 2008 silam, masyarakat adat lingkar kawasan Besipae melakukan aksi penolakan atas perpanjangan HGU program Gerhan itu.
Karena penolakan masyarakat adat lingkar kawasan itu tidak membuahkan hasil, pada tahun 2011 masyarakat Besipae membentuk sebuah wadah Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITA – PKK) yang kemudian melayangkan surat permohonan untuk membatalkan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan Provinsi NTT, dengan tujuan surat Pemprov NTT dan Pemerintah Pusat.
Pada tahun 2011, KOMNAS HAM mengeluarkan surat bernomor 873/K/PMT/IV/2011 perihal masalah hutan di Besipae, isi surat tersebut di antaranya “KOMNAS HAM meminta kepada pemerintah agar tetap menjaga situasi aman, kondusif dan tidak boleh terjadi intimidasi apalagi tindakan represif di dalam kehidupan bermasyarakat di Besipae itu”.
Namun pemerintah Provinsi NTT tidak mengindahkan itu, sebagaimana yang terjadi pada Oktober 2012, adanya kriminalisasi terhadap 17 masyarakat adat di sana.
Memasuki tahun 2013, tepatnya 19 Maret 2013 Pemprov NTT mempertontonkan sikap agresif dengan menerbitkan secara sepihak sertifikat hak pakai bernomor 00001/2013-BP.794953 dengan luas lahan sekurangnya 3.780 Ha.
Konflik semakin memanas ketika Oktober 2017, Pemprov NTT melakukan intimidasi terhadap masyarakat adat di dalam kawasan lingkar Besipae itu.
Pada tahun 2020, terjadi beberapa kali peristiwa yang lagi – lagi Pemprov NTT mempertontonkan keberingasan di hadapan masyarakat di sana, seperti pembongkaran pondok, pagar dan penggusuran rumah tinggal warga di sana, ini terjadi pada 17 Februari dan 10 Maret 2020.
Lebih lanjut, pada 12 Mei 2020, Gubernur NTT bersama rombongan mendatangi lokasi konflik, Gubernur meminta masyarakat untuk membongkar pagar, rumah dan pergi dari lokasi yang diklaim pemerintah itu. Namun mendapat penolakan dari warga dengan alasan bahwa kawasan itu milik mereka dan meminta pemerintah untuk selesaikan secara adil, karena itu, sempat terjadi keributan dan aksi telanjang dada dari sejumlah ibu – ibu.
Tidak hanya itu, pada 18 Agustus 2020 tim gabungan aparat Polisi Pamong Praja, anggota Polri dan TNI melakukan penggusuran terhadap 29 rumah milik masyarakat di dalam kawasan Besipae itu.
Rentetan kejadian itu tidak membuat masyarakat adat yang mendiami kawasan itu merasa goyah dan mundur untuk memperjuangkan keadilan atas harkat, martabat dan hak mereka sebagai anak bangsa, itulah mengapa mereka tetap mendiami kawasan itu.
Tahun 2022 Kembali Memanas Prahara konflik ini kembali memanas pada 30 September 2022 pagi, ada alat berat yang turun ke lokasi Besipae untuk melakukan pembersihan lokasi pembuatan kandang ternak sapi sebanyak 14 kandang. Karena masyarakat mendengar suara alat berat, sontak masyarakat secara bersamaan menuju lokasi tersebut.
Setiba di lokasi, masyarakat melihat akan adanya aktivitas di tanah yang statusnya masih konflik antara masyarakat Besipae dengan Pemprov NTT yang hingga kini belum menuai titik terang. Melihat itu, masyarakat menuntut agar segala aktivitas segera dihentikan sebelum adanya penyelesaian yang berkeadilan, siang hari setelah keributan itu terjadi, pihak kontraktor bertemu dan berdiskusi dengan masyarakat.
Dalam diskusi itu, pihak kontraktor mengatakan bahwa ia juga tidak bisa melanjutkan aktivitas tersebut dan aspirasi rakyat akan mereka sampaikan ke Dinas Peternakan Provinsi NTT.
Pada 4 Oktober 2022, anggota Pol PP Provinsi NTT berjumlah 8 orang bersama Kepala Dinas Peternakan Instalasi Besipae serta pegawainya datang dan mengkawal alat berat untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda sebelumnya.
Hal Ini juga tetap menuai penolakan dari masyarakat setempat dengan alasan yang sama bahwa tidak boleh ada aktivitas sebelum adanya penyelesaian konflik ini secara adil. Karena itu, salah seorang oknum dari rombongan Dinas Peternakan Instalasi Besipae sempat mendorong Bapak Nikodemus Manao dan Bapak Daud Selan, namun hal itu tidak direspons oleh masyarakat karena tujuan masyarakat bukan untuk berkelahi tapi untuk meminta keadilan agar aktivitas dihentikan.
Pada Jumat 14 Oktober 2022, masyarakat Besipae yang tergabung dalam organisasi Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITA – PKK) menghentikan pekerjaan proyek pembangunan kandang pedok yang hendak dibangun oleh Dinas Peternakan Pemprov NTT melalui CV Adil Karya.
Peristiwa tersebut bermula ketika masyarakat mendatangi lokasi pembangunan proyek tersebut untuk menghadang dan menghentikan alat berat berupa Gleder yang sementara beraktivitas.
Aktivitas tersebut dikawal langsung oleh Polisi Pamong Praja (Pol PP) dari Pemprov NTT, aksi masyarakat ini kemudian mendapat respons negatif dari pihak Pol PP hingga terjadinya perdebatan antara masyarakat, Pol PP dan pemilik CV Adil Karya.
Karena kejadian itu, Kapolsek Amanuban turun ke lokasi guna mengajak masyarakat, Pol PP dan pemilik CV Adil Karya yang terlibat dalam perdebatan untuk menuju ke salah satu bangunan gedung yang saat ini diklaim oleh Undana Kupang sebagai asetnya, tujuan Kapolsek Amanuban tentu untuk duduk bersama dan mencari jalan keluar.
Atas ajakan itu masyarakat setuju namun dengan syarat bahwa aktivitas itu harus diberhentikan dulu, karena itu pemilik CV Adil Karya pun menyetujui permintaan itu dan mereka duduk di halaman gedung milik salah satu kampus negeri di NTT yaitu Universitas Nusa Cendana Kupang yang oleh masyarakat setempat menyebutnya sebagai Mes.
Kemudian masyarakat meminta agar diskusi segera dimulai, namun Kapolsek Amanuban mengatakan bahwa pertemuannya bisa saja dimulai namun dirinya tidak punya kapasitas untuk mengambil sebuah keputusan, karena itu ia meminta agar perwakilan dari masyarakat satu orang untuk menyampaikan apa yang menjadi poin tuntutan agar dirinya bisa meneruskan poin tuntutan tersebut ke pihak terkait (pemangku kebijakan).
Bertolak dari deretan peristiwa tersebut, lebih – lebih setelah peristiwa terakhir sebagaimana diceritakan pada kronologi di atas, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang kembali angkat bicara.
Ketua Umum FMN Cabang Kupang Frencis P. L. Tukan mengatakan, “kondisi masyarakat di kawasan hutan Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bahwa dari tahun 2008 ketika masyarakat melakukan penolakan sampai detik ini tidak ada penyelesaian yang baik oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur”.
“Klaim status tanah yang dilakukan negara melalui Dinas Peternakan dan Kehutanan atas Hutan Besipae menunjukkan karakter negara sebagai tuan tanah gaya baru. Konflik lahan antara masyarakat dengan pemerintah yang terjadi di Kabupaten TTS adalah konflik yang paling panjang, konflik ini cukup menggambarkan situasi negara yang represif terhadap rakyatnya”, tegas Frencis.
Berbagai macam penderitaan yang dialami oleh masyarakat di sana, mulai dari penggusuran paksa, pemukulan terhadap ibu-ibu dan anak-anak hingga penembakan gas air mata dan penangkapan, tindakan anti rakyat terhadap masyarakat di sana seolah menjadi tontonan yang tidak kunjung usai.
Lanjut Frencis, “seakan tindakan tersebut adalah hal yang biasa ketika negara melalui Pemprov NTT melakukan aksi-aksi anti rakyat, tentunya sangat merugikan masyarakat yang notabene adalah kaum tani apalagi dengan tidak mempertimbangkan secara adil. Hal ini terbukti dengan sikap represif yang terus dikedepankan oleh negara melalui Pemprov NTT terhadap rakyat di Besipae”.
“Kalau dengan dalil bahwa Pemprov NTT bersikeras untuk menjalankan programnya di Besipae, kita bisa cek secara bersama program apa yang berjalan di sana selain ternak sapi yang jumlahnya hanya kisaran 20-30 an ekor dengan luas lahan yang dimonopoli seluas 37.800 meter persegi berdasarkan sertifikat Hak Pakai nomor :00001/2013-BP,794953”, pinta Ketua FMN.
Tambahnya, “sementara Lamtoro, Porang dan Kelor tidak nampak seperti yang Pemprov NTT kampanyekan. Kami menduga bahwa ini hanyalah upaya dari Pemprov NTT untuk lakukan perampasan tanah milik rakyat secara besar-besaran demi kepentingan investasi dan orientasi jangka panjang untuk mendapatkan super profit demi memuaskan hasrat pemerintah”.
“Karena kami saksikan sejak awal, bahwa upaya penyelesaian hanya bersifat sepihak dan tidak melibatkan masyarakat terdampak dalam hal ini rakyat di kawasan hutan Besipae yang masih meminta keadilan dari negara”, terang Frencis.
Lanjutnya, “bahwa penggusuran, tindakan represif dan intimidasi tahun 2020 tidak cukup memuaskan hasrat Pemprov NTT, Pemprov NTT masih saja berupaya untuk menjalankan program Instalasi Besipae yang sebenarnya hingga saat ini hasilnya pun nihil dan tidak berdampak positif bagi rakyat setempat, justru menyisakan perlawanan yang berkepanjangan”.
“Karena rakyat telah sadar bahwa monopoli tanah secara besar-besaran di atas hutan rakyat Besipae hanya untuk kepentingan sepihak termasuk kepentingan borjuasi nasional, borjuasi besar komprador dan kaki tangannya dalam negeri”, tegas Ketua FMN.
“Tidak berhenti sampai di situ, pada 30 September 2022 pagi, kebijakan Pemprov NTT, Dinas Peternakan Pemprov NTT melalui CV Adil Karya membawa alat berat untuk melakukan aktivitas pembangunan kandang pedok di lokasi konflik itu, kemudian rumah yang telah dibangun oleh Pemprov NTT yang sediannya untuk ditempati oleh masyarakat lingkar Besipae pasca penggusuran sepihak tahun 2020 pun akan digusur lagi”, jelas Frencis.
Lanjutnya, “atas dasar itu, rakyat Besipae telah nyatakan sikap bahwa akan kembali menuntut hak demokratisnya dan kami menilai bahwa Pemprov NTT sepertinya tidak punya beban mendatangi kawasan konflik yang disebabkan oleh mereka sendiri karena sampai saat ini masyarakat diterlantarkan begitu saja, tidak ada pertanggungjawaban dan tindak lanjut untuk menyelesaikan konflik itu secara adil”.
“Begitu juga dengan nawacita rezim Jokowi dalam bentuk program Reforma Agraria – Perhutanan Sosial dan memberikan rasa aman bagi rakyat terbukti tidak menyentuh rakyat di Besipae, yang terjadi justru penggusuran pemukiman, kriminalisasi, penangkapan kaum tani bahkan negara tidak segan – segan untuk membunuh kaum tani yang menuntut hak demokratisnya”, tutup Frencis.
Front Mahasiswa Nasional ( FMN ) Cabang Kupang mengecam tindakan anti rakyat yang dilakukan oleh negara melalui instrumennya yang terus melakukan monopoli dan perampasan tanah milik rakyat di Besipae, berikut pernyataan sikap FMN Cabang Kupang :
1. Kembalikan hutan milik masyarakat adat Pubabu – Besipae.
2. Hentikan segala aktivitas di dalam kawasan hutan Pubabu – Besipae sebelum adanya penyelesaian yang adil.
3. Hentikan tindakan kriminalisasi dan intimidasi kepada masyarakat di dalam kawasan Pubabu – Besipae.
4. Jalankan reforma agraria sejati.
Demikian hal yang disampaikan oleh FMN Cabang Kupang melalui press release yang diterima media ini pada Minggu, 16 Oktober 2022 siang.
Oeh : Isidorus Andi
Editor : Feren.